POSESIF (2017)


Kita mendapati sesuatu yang aneh pada perfilman Indonesia kali ini, jika biasanya film balada cinta remaja kerap hadir pada bulan februari sebagai pertanda valentine day atau masa libur sekolah sekarang hadir pada bulan bertema horor, oktober. Namun setelah menyaksikan filmnya maka tak salah Posesif tayang berdekatan dengan Halloween.

Ada hal tertentu yang tak bisa kita lakukan bersama tanpa menjadi dekat, di hukum mengitari lapangan sekolah berdua salah satunya. Perkenalan antara Lala (Putri Marino) dan Yudhis (Adipati Dolken) berawal dari warna sepatu yang melanggar peraturan sekolah. Lala dan Yudhis menjadi dekat hingga akhirnya mereka berhubungan setelah di comblangin teman-temannya. Cinta pertama Lala ini awalnya manis, membuatnya bersemangat, hingga kemudian semuanya berubah tak seperti yang Lala bayangkan. Hanya itu gambaran yang dapat saya berikan demi menghindari spoiler.

Edwin (Kebun Binatang) membuat Posesif menjadi sebuah drama percintaan yang yang akan meruntuhkan, atau setidaknya menampar gagasan tentang "romantis" itu sendiri. Karena tak selamanya cinta itu menyoal tentang "dibuai, di mabuk asmara", kadang kala cinta juga dapat memberikan teror yang sedemikian rupa, terlebih dalam percintaan remaja kekinian dalam membentuk toxic relationship.
Naskah gubahan Gita S. Noer (Rudy Habibie) mengalir perlahan di awal dengan menonjolkan manisnya percintaan remaja SMA hingga kemudian menghentak dengan keras, memunculkan sejumlah pertanyaan dalam benak yangvmungkin tak mampu terjawab. Berkenalan, mulai dekat, dan akhirnya jadian. Kita diperlihatkan kepekaan Edwin dalam merangkai momen sederhana tersebut menjadi spesial, karena cinta tak harus dengan karangan bunga juga nyanyian syahdu agar bersemi. Dari obrolan diam-diam hingga ikatan terpaksa akibat hukuman dari guru galak (Ismail Basbeth) mampu menghembuskan benih asmara keduanya.


Orang pernah berkata jika ingin hubungan tersebut awet, bertahan lama, maka pupuk lah ia dengan perhatian, dan Yudhis mencurahkan seluruh perhatiannya untuk Lala yang di saat bersamaan merasa di nomor duakan oleh ayahnya (Yayu Unru) yang juga pelatihnya. Namun, lama kelamaan perhatian tersebut beeubah menjadi kekangan. Yudhis membatasi kegiatan Lala, merenggut ruang privasinya, bahkan mempersulitnya untuk sekedar ngumpul bareng sahabat-sahabatnya. Yudhis berubah menjadi posesif, cenderung abusive. Namun timbul pertanyaan, apakah sebutan itu hanya pantas di sematkan kepada Yudhis? Bagaimana dengan ayahnya Lala yang ngotot agar anaknya berprestasi di lompat indah, atau ibunya Yudhis (Cut Mini) yang memaksa putranya untuk meneruskan tradisi keluarga. Ataupun segala aturan lainnya yang saban hari kita temui.

Naskah Gita S. Noer memunculkan kritik secara tersirat namun tegas. Menyatakan prilaku posesif bukan eksklusif terjadi dalam percintaan, apalagi di kalangam millenial belaka. Posesif di paparkan sebagai hasrat mendasar manusia, hasras mengatur yang lain baik itu yang di sayangi, di miliki, atau di bawah kendali, tak peduli siapa dan umur berapa. Terkait toxic relationship antara dua tokoh utama, naskahnya tal menggunakan alur fantastis, tak ada kelokan mendadak, tak ada kejutan yang hadir, semua berjalan linier. Fokus dialamatkan kepada galian psikis mendalam soal penokohan juga motivasi mereka.

Mudah bagi kita menghakimi Yudhis yang mengekang kemudian juga diikuti kekerasan. Namun Posesif menyelam lebih jauh, menelusuri penyebab yang akhirnya membuat kata "mudah" tak lagi tepat di pakai menyikapi persoalan tersebut. Demikian juga dengan Lala yang berusaha menerima prilaku sang kekasih, juga tindakan mengatur ayah dan ibu masing-masing. Segalanya tetap tak bisa di benarkan, begitu juga dengan Posesif, alih-alih membenarkan prilaku tersebut kita di ajak untuk memahaminya guna terhindar dari judgemental. Karena soal psikis selalu menyangkut judgemental sebagai musuh utamanya.

Barisan penokohan bermain dengan cukup apik. Adipati Dolken menunjukkan pesonanya yang dapat memberikan cinta pertama untuk Lala, sembari menebar kengerian dari sorot mata penuh kebencian yang secara bersamaan menunjukkan derita. Putri Marino jadi tandem yang sepadan, piawai dalam menampilkan kegelisahan remaja di tengah ombang ambing menuju pintu kedewasaan. Oh ya, jangan lupakan betapa meyakinkan saat dia memenangkan kejuaraan lompat indah. Yayu Unru menjaga agar simpati penonton tak menjauh, menegaskan ayah Lala sekwdar kurang lihai dalam menyampaikan rasa sayangnya kepada sang anak hingga terlihat menjadi otoriter. Begitu pula dengan Edwin selaku sutradara, ia turut bertransformasi. Sebagai seorang veteran arthouse ia membawa beberapa bekal yang cukup berguna seperti pertunjukan gambar cantik, hingga keengganan menerapkan trik dramatisasi murahan seperti musik asal masuk. Ia lebih kepada kombinasi visual artsy dengan lantunan lagu populer macam Dan miliknya Sheila On 7, manis dan ringan di luar, namun mencengkeram juga bernyawa di dalam.


Posesif adalah cara menyampaikan itikad baik dengan cara baik pula, karena meski niat kita baik orang sekitar belum tentu berpikir itu baik.

POSESIF : 4/5
102 menit : remaja
RIZALDI : 4 November 2017
Sutradara : Edwin
Penulis : Gita S. Noer
Pemain : Adipati Dolken, Putri Marino, Yayu Unru, Cut Mini

Comments