COCO (2017)


Kapan terakhir kali kita di buat kecewa oleh Pixar? Kecewa dalam artian rilisan terbaru mereka tidak mampu untuk mengobrak-abrik emosi penonton. Terakhir kali mereka melakukannya dalam Inside Out tahun 2015 silam. Setelahnya,
Kita "hanya" di perlihatkan kemampuan Pixar dalam meramu beragam dunia imajiner beserta tetak bengek di dalamnya tanpa menyentuh hati penonton. Setidaknya itu menurut saya pribadi. Tapi kali ini bersiaplah karena kalian akan menjumpai beragam kejadian yang pastinya akan mengobrak abrik emosi serta menghancurkan bendungan air mata kalian.

Adalah Coco, sebuah rilisan terbaru yang mengangkat kisah tentang seorang bocah bernama Miguel (Anthony Gonzalez) yang bercita-cita menjadi musisi namun di tentang oleh segenap keluarga. Ia tinggal bersama keluarga besarnya yang sangat anti dengan musik, bahkan pengamen jalanan sekalipun — ayah, ibu, nenek, hingga nenek buyut Coco — yang perlahan mulai hilang ingatan di sebuah desa di Meksiko.
Ternyata alasan keluarga melarang Miguel karena kakek buyut-buyutnya dulu rela meninggalkan keluarganya demi mengejar mimpi sebagai musisi. Sang istri Imelda berhasil bangkit dan meneruskan hidup sebagai pengrajin sepatu, profesi yang kemudian di turunkan ke generasi berikutnya. Musik di anggap racun dalam keluarga ini, namun tidak dengan Miguel. Saat senggang ia mencuri waktu dengan belajar gitar sembari menonton film dari musisi favoritnya, Ernesto De La Cruz (Benjamin Bratt). Di hari orang mati Miguel ingin membuktikan talentanya, tapi nenek yang mengetahui hal ini malah menghancurkan gitarnya. Usahanya meminjam gitar sang legenda, De La Cruz ternyata membawanya bertualang ke alam orang mati.


Kita telah melihat beragam kreativitas Pixar. Mulai dari serangga, mainan, kehidupan laut, Super hero, monster, hingga isi otak. Kali ini studio berlambang lampu belajar tersebut kembali dalam jalurnya melalui Coco. Mengangkat Dia de los Muertos atau Day of the Dead, hari kebudayaan untuk mengingat arwah para leluhur. Duo penulis naskah Adrian Molina dan Matthew Aldirch, menjadikan hari sakral tersebut sebagai sarana menuangkan gagasan dan curahan hati tentang relasi seseorang dengan keluarganya.

Setiap orang paham jika keluarga tempat kita menaung, berlindung, berkeluh kesah, tapi hampir setiap orang juga menganggap jika itu hanya konsep kelewat bijak yang jauh dari realita. Dan Miguel ada di posisi tersebut. Baik orang tua atau neneknya kerap kali berceramah soal betapa penting dan berharganya keluarga. Namun Miguel berpendapat sebaliknya, ikatan tersebut tak dapat dirasakan, ada dinding penghalang disana, khususnya akibat larangan beemain musik.

Kisah mengejar mimpi ditengah larangan keluarga, meski akan selalu relevan jelas amat familiar sehingga rawan repetisi. Tapi konflik tersebut hanya sebuah "jalan" untuk menemukan jalan lainnya yang lebih penting dan bermakna. Bahkan tema tentang hari setelah kematian tersebut tak lebih menguras air mata ketimbang hal tersebut. Yang bahkan saya sendiri tak menduga bagaimana satu momen khusus tersebut mampu menghancurkan pertahanan air mata saya.

Dinamika masyarakat di desa Miguel di buat hidup oleh Pixar, namun Coco baru tampil sepenuhnya mencolok saat cerita beralih ke dunia orang mati. Semesta yang dirancang seperti sebuah stasiun yang super mewah, dihiasi warna-warna yang memanjakan mata. Sebagai penghubung dunia orang hidup dengan dunia orang mati adalah jembatan raksasa yang terbuat dari ribuan kelopak bunga berpendar jingga. Belum lagi alebrijas, makhluk suci dari legenda Meksiko yang divisualkan sebagai hewan mistis dengan warna neon di tubuh mereka. Dan untuk orang mati digambarkan sebagai tengkorak, tentu dengan memakai pakaian. Ada aturan tertentu bagi orang mati yang ingin mengunjungi dunia manusia atau sebaliknya. Mekanisme yang cukup pelik, namun dijelaskan dengan luar biasa hingga tak perlu menjadi pintar untuk memahami hal tersebut.


Seperti settinganya yang misterius pula kerap mwngejutkan Miguel, filmnya menyimpan beberapa kejutanyang menjaga dinamika sambil menambah bobot emosi. Terkait dinamika, walau bercerita soal kematian, Coco tetap menawarkan sentuhan komedi supaya tidak terperosot ke ranah yang terlampau kelam. Sumber humornya beraneka ragam, mulai anomali tingkah serta anatomi penghuni Land of the Dead hingga hal hal kecil seperti munculnya alebrije kodok. Kebanyakan terkesan absurd, yang mana sesuai dengan situasi yang Miguel alami.

Jika kalian mencari sebuah kisah haru maka Pixar dengan Coco-nya akan sangat memuaskan. Dengan animasi yang sempurna melukiskan kehidupan setelah kehidupan juga kepiawaian Lee Unkirch (Finding Nemo, Toy Story 3, Monster, Inc) merangkai adegan yang mencerminkan rasa momen kekeluargaan berharga, selaras dengan mimpi Miguel. Unkirch memberi peranan penting pada lagu dalam meluaplan emosi. Tatkala tembang Remember Me dilantunkan lembut untuk terakhir kali, disitu semua aspek film (sensivitas pengisi suara, musik, detail animasi kerutan wajah mama Coco) menyatu, sebagaimana keping-keping ceritanya bermuara, menjawab alasan mengapa judul "Coco" di sematkan. Coco mengingatkan kita akan agar menyimpan setidaknya sepenggal memori tentang orang-orang tersayang yang telah pergi sembari meyakini mereka juga mengingat kita. Hingga suatu hari kelak bersama lagi.


Jika kalian/anak kalian mencari guru untuk mengajari cara menghadapi kematian orang terkasih maka Coco adalah pengalaman pertama yang berharga juga menyentuh. Buat orang dewasa juga. Setidaknya itu yang saya lihat dari penonton yang menonton bersama saya di bioskop. Mereka menangis, baperan. Tapi saya tidak, mata saya cuma berkeringat.

Jangan sekalipun meremehkan mimpi seseorang, tapi dukunglah ia. Karena para jenius, pemikir handal di luar sana tak akan berdiri seperti sekarang tanpa dukungan dari orang sekitarnya, terutama keluarga.

LOCO : 4.5/5
109 menit : semua umur
RIZALDI : 27 November 2017

Sutradara : Lee Unkirch
Penulis : Adrian Molina, Matthew Aldirch
Pemain : Anthony Gonzalez, Benjamin Bratt, Ana Ofelia Murguia, Gael Garcia Benhal

Comments