KARTINI (2017)


Badanmu boleh terkurung, tapi hati dan pikiranmu harus sebebas bebasnya. 

Bukan kali pertama Kartini diangkat ke layar lebar, sudah ada 2 film pendahulunya, sutradara legendaris tanah air, Sjumandjaja sudah menguliknya terlebih dahulu melalui R.A. Kartini (1982), dan Azhar Kinoi Lubis dibawah bendera MNC Pictures pula pernahmemadupadankannya dengan tuturan fiktif lewat Surat Cinta Untuk Kartini (2016).

Setelah mendapat gambaran melalui 2 'kakak' nya mungkin kita bertanya apa yang ingin disajikan oleh Hanung Bramantyo yang telah banyak menelurkan karya bertema serupa, sebut saja Sang Pencerah, Soekarno, Rudy Habiby (Habibie dan Ainun 2).

Ada 2 alasan yang bisa mendasari kita untuk mengikuti cerita kali ini, pertama karena ketertarikan sang sutradara terhadap sang pejuang emansipasi perempuan tersebut dan barisan para pelakon dengan jejak mentereng seperti Dian Sastrowardoyo, Cristine Hakim, Ayushita Nugraha, Acha septriasa, Dedi Sutomo, Denny Sumargo, Reza Rahadian (meskipun hanya sebagai cameo) dan masih banyak lagi.


Film dibuka dengan tangisan Kartini kecil yang dipisah dari ibunya (Nova Eliza, Cristine Hakim memerankan versi senja nya) karena sang ayah Ario Sosrodiningrat (Deddy Sutomo) menikahi seorang wanita bangsawan, Moeriam (Djebar Maesa Ayu) agar bisa menjadi pejabat. Kemudian berlanjut hingga kehidupan Kartini muda.
Bagaimana ia melihat wanita Jawa masih terkurung adat yang kaku dan membatasi ruang gerak mereka (bagai burung dalam sangkar) membuatnya mencari tahu aktivitas dunia dibalik tembok tempat tinggalnya dengan sumber referensi buku abangnya, Sosrokartono (Reza Rahadian) yang ditinggal karena bertolak ke luar negeri. Kala dua adiknya, Kardinah (Ayushita Nugraha) dan Roekmini (Acha Septriasa) turut dipingit di bawah bimbingannya, pemikiran dan aksi Kartini semakin menjadi-jadi, mengkhawatirkan kalangan priyayi kolot serta ibu tiri dan abangnya, Slamet (Denny Sumargo).

Mengangkat sosok Kartini Hanung Bramantyo memilih bermain aman, mungkin karena takut jika Kartini akan berakhir mengecewakan meskipun dengan materi sebanhak ini. Ia tak berani untuk menyinggung kontroversi disekitar sang tokoh emansipasi tersebut, yang bagi sebagian masih meragukan keabsahan kisahnya yang lebih dianggap sebagai propaganda pemerintah.
Naskah yang ditulis Hanung dan Bagus Bramanti (Dear Nathan. Talak3, Mencari Hilal) mencoba tampil dinamis dengan turut menampilkan interaksi maya antara Kartini dan sahabat penanya hingga imanjinasi akan gambaran dunia melalui sebuah buku yang dibacanya. Chemistry antar pemain cukup baik, terutama Kartini dan adik adiknya. Gambaran seorang Kartini yang iseng, rada tomboy, pemikiran yang bebas melampaui zamannya cukup menarik, namun bagaikan melihat sosok Dian yang biasa kita lihat di media, bukannya Kartini. Namun bukan berarti Dian bermain jelek.


Beberapa adegan cukup menghadirkan momen emosional dan memancing derai tangis, seperti saat kepasrahan Kardinah yang menerima kenyataan ditaklukkan oleh kokohnya adat budaya, yang mana juga ditandai dengan alunan film yang semula mengalir ringan hingga bertansisi menjadi dramatik yang masih sedap untuk disantap tak seperti karyanya Hanung sebelumnya yang terlalu menjadi jadi dalam memancing banjir air mata dalam gedung bioskop (ehem, Surga yang tak dirindukan 2).

Semua pelakon memainkan perannya dengan maksimal, terutama Cristine Hakim air wajahnya cukup memberi kita pancaran akan beragam rasa serta akumulasi emosinya dipuncak durasi yang amat mengena hingga memberi Kartini sebuah penutup yang sempurna.

Rating : 3,5 / 5

Comments